A. Sekilas Tentang Muawiyyah Bin Abi
Sufyan
Muawiyah
dilahirkan dari keluarga hartawan dan pedagang besar yang menguasai
perekonomian hampir seluruh semenanjung Arabia. Ayahnya bernama Abi Sufyan. Abi
Sufyan inilah yang menjadi panglima besar kafir Quraisy pada perang Uhud,
Khandaq dan pemimpin pemerintahan sampai Mekah dibebaskan oleh Rasulullah.
Ibunya
bernama Hindun bin Utbah, seorang wanita lincah, cekatan yang mempunyai andil
besar dalam membantu suami di perang Uhud. Pada waktu perang Badar, Hindun
kehilangan ayah, paman, saudara dan puteranya. Untuk menuntut bela terhadap
keluarganya itu, ia mengupah Wahsyi sebagai pembunuh bayaran untuk membunuh dan
mengambil jantung Hamzah paman Nabi dan syahid agung untuk dimakannya
mentah-mentah. Usaha menuntut bela ini dapat dicapainya.
Mu'awiyah
ibn Abi-Sufyan dilahirkan kira-kira tahun 600 M, jadi seumuran dengan Ali. Dan
merupakan keluarga Bani Abd-Shams, dari suku Quraysh. Banu Abd-Shams termasuk
berpengaruh dalam masyarakat Mekah. Ayahnya adalah Abi Sufyan ibn Harb,
menentang Nabi Muhammad ketika Nabi Muhammad mendapat Wahyu.
Dia
meriwayatkan hadits dari Rasulullah sebanyak seratus enam puluh tiga hadits.
Beberapa sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya anta-ra lain:
Abdullah bin Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Dar-da’, Jarir
aI-Bajali, Nu’man bin Basyir dan yang lain. Sedangkan dari kalangan tabiin
antara lain: Sa’id bin al-¬Musayyib, Hamid bin Abdur Rahman dll.
Ketika
pada tahun 630 M, Nabi Muhammad dan pengikutnya menaklukan Mekah, seluruh
penduduk Mekah termasuk Bani Abd-Syam, secara formal tun-duk pada Muhammad dan
masuk Islam. Sebagian besar serjarawan menyatakan bahwa Muawiyah bersama
ayahnya Abi Sufyan menjadi Muslim pada waktu Fathu Mekah. Ada juga yang
berpendapat bahwa Muawiyah menerima islam pada awal-awal kenabian dan mendapat
tantangan dari kerabatnya. Pasca Fathu Mekah, Muawiyah diangkat oleh Nabi
Muhammad sebagai salah satu juru tulisnya dan mendapat kepercayaan menulis
Wahyu Allah.
Ketika
Nabi Muhammad wafat, dan Abu Bakar menjadi Khalifah, Mua-wiyah ikut kontingen
pasukan yang menyerbu Syria dibawah pimpinan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan.
Pada
masa Kekhalifahan Umar bin Khatab, beliau diangkat sebagai guber-nur Syam pada
tahun 640, menggantikan saudaranya, Yazid bin Abu Sufyan yang wafat karena
wabah amwas. Secara bertahap beliau memperoleh pengua-saan atas seluruh Syria,
dan mendapatkan loyalitas dari seluruh tentara dan pen-duduk kawasan itu. Pada
tahun 647, Muawiyah membangun angkatan bersenjata Syria yang kuat sehingga
mampu memukul mundur serangan Bizantium dan tahun berikutnya menyerang
Bizantium dan berhasil menguasai pulau Syprus (649) dan Rhodesia (654) serta
mengalahkan angkatan laut Bizantium di pesisir Lycia (655). Dan pada saat yang
sama, Muawiyah secara periodik memberang-katkan ekspedisi kedaratan Anatolia. Semua
kampanye penyerangan ini terhenti sehubungan dengan naiknya Ali menjadi
Khalifah menggantikan Usman bin Afan.
Ketika
Ali menjadi Khalifah, Beliau menuntut keadilan kepada Ali atas pembunuhan
Khalifah Usman. Sebenarnya Ali pun mau menghukum para pembunuh Usman, tetapi
berhubung keadaan negara sedang kacau, beliau me-nunda permasalahan tersebut
sampai suasana kembali stabil. Hal ini tidak disetu-jui oleh Muawiyah, maka
pecahlah Perang Siffin antara Khalifah Ali dan Guber-nur Muawiyah. Ketika
keadaan perang tersebut memburuk, pihak Muawiyah, menyerukan Tahkim yang
diterima oleh pihak Ali. Pihak Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash, sedangkan
pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asyari.
Pasca
tahkim, muncullah kaum Khawarij yang membuat keonaran. Oleh karena itu Ali
berusaha memadamkan kaum ini. Disaat yang sama terjadi pergolakan di Mesir.
Gubernur mesir, Qaish, dipanggil dan Ali mengganti-kannya dengan Muhammad bin
Abu Bakar. Tetapi pemberontakan malah sema-kin luas di Mesir. Mu'awiyah
memerintahkan 'Amr ibn al-'As untuk menaklukan mesir dan berhasil. Muhammad bin
Abu Bakar terbunuh. Setelah itu Muawiyah melancarkan serangan ke Arabia, Yaman
dan Irak.
Setelah
Mekah dibebaskan, bersamaan dengan ayahnya ia pun masuk Islam. Setelah masuk
Islam, ia menjadi salah seorang sekretaris Rasulullah saw. Ia pun ikut perang
Hunain dan dengan gagah berani memperlihatkan keperwiraannya sebagai seorang
putera bekas panglima dan mendapat pembagian rampasan perang bersama ayahnya
melebihi yang lain karena keduanya masih muallaf (orang yang baru masuk Islam,
yang mendapat jaminan hidup lebih dari orang yang sudah betul-betul beriman,
supaya tidak murtad lagi).
Di
zaman Khilafah Abubakar ra, ia ikut bertempur melawan Romawi di Syam
(Damsyiq)di bawah pimpinan kakaknya Yazid bin Abu Sufyan. Ketika Yazid wafat,
Muawiyah mengambil alih pimpinan pemerintahan dan kemudian oleh Khalifah
Abubakar ra ditetapkan, menjadi wali negeri Syam sebagai pengganti kakaknya
itu.
Pada
masa Khalifah Umar Ibnul Khatthab ra, ia masih menjadi wali negeri Damsyiq.
Ketika Khalifah Umar ra meninjau Syam, beliau mendapatkan Muawiyah di Istananya
yang sangat mewah; Umar berkata, "Ini adalah Kisra (Kaisar) Arab!"
Tidak lama setelah itu, karena berbagai alasan, Umar memberhentikan dari
jabatannya dan Said bin Amir pelopor hidup sederhana menggantikan Muawiyah.
Pada
masa Khalifah Utsman, Muawiyah diangkat kembali menjadi wali negeri seluruh
Syria, termasuk Palestina. Banyak pengaduan rakyat kepada Khalifah Utsman
tentang tindakan wali negeri ini, termasuk keberandalan puteranya. Akan tetapi
sebagian besar surat pengaduan itu tidak disampaikan kepada Khalifah oleh
sekretaris beliau yang bernama Marwam (saudara sepupu Muawiyah). Atas
pengkhianatan Marwam inilah timbulnya pemberontakan dan terbunuhnya Khalifah
Utsman.
Muawiyah
adalah seorang jenius, pintar dan cerdik, politisi dan panglima perang. la mampu
menggunakan kekuasaan dan harta negara dalam mencari kawan dan merangkul
bawahan. Sahabat Nabi yang mulia ini, walaupun banyak ahli sejarah yang
mencaci-makinya, wafat pada tahun 60 Hijrah dalam usia 78 tahun. Semoga Allah
mengampuni dan menerima amal baktinya.
Muawiyah
lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah.
Riwayat lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw
menjadi Nabi. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama
ayahnya, Abi Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi
Fathu Makkah. Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada
peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya sampai peritistiwa
Fathu Makkah.
Di
masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah
bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena
dia jujur,” kata Jibril. Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat
menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin
Jarrah. Kaum Muslimin berhasil menaklukkan Palestina, Syria (Suriah),
dan Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini
terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.
Ketika
Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat
sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di
Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah. Pada masa pemerintahan
Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang
Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan
perdamaian.
Ketika
Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya,
Hasan bin Ali. Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan,
akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada
Muawiyah bin Abi Sufyan. Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah.
Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan).
Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa
kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak
islami. Padahal walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah
banyak memberikan sumbangan untuk Islam. Ia ikut di berbagai peperangan, baik
di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang
menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan beberapa
kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa
dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa
yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak
mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat
Rasulullah Saw.
Muawiyah
dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Ungkapannya tentang hal ini
dicatat sejarah, “Aku tidak akan menggunakan pedangku selagi cambukku sudah
cukup. Aku tidak akan menggunakan cambukku selagi lisanku masih bisa
mengatasinya. Jika ada rambut yang membentang antara diriku dan penentangku,
maka rambut itu tidak akan putus selamanya. Jika mereka mengulurkannya, maka
aku akan menariknya. Jika mereka menariknya, maka aku akan mengulurnya.”
Ia
mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi sehingga Nicholsan dalam
bukunya Literaty History of The Arabs menulis, “Muawiyah adalah seorang
diplomat yang cakap dibanding dengan Richelieu, politikus Prancis yang terkenal
itu.” Lebih tepat lagi ia mencontohkan Muawiyah dengan Oliver Cromwell,
politikus dan protektor Inggris yang termasyhur, yang pernah membubarkan
parlemen.
Dalam
menjalankan pemerintahannya, Muawiyah mengubah kebijaksanaan pendahulunya.
Kalau pada masa empat khalifah sebelumnya, pengangkatan khalifah dilakukan
dengan cara pemilihan, maka Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara
turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah,
putranya sendiri.
Muawiyah
adalah pendiri Daulah Umawiyah. Pada masa ini kaum Muslimin memperoleh kemajuan
yang sangat pesat. Tidak hanya penyebaran agama Islam, tetapi juga penemuan-penemuan
ilmu lainnya.
Ketika
Byzantium mengerahkan tentaranya untuk memperluas jajahannya, ia tiba di
beberapa daerah kekuasaan Muawiyah. Untuk mengusir tentara Byzantium itu,
Muawiyah mengerahkan 1.700 kapal perang kecil yang mampu menghalau pasukan
musuh. Dengan tidak mengenal lelah, kaum Muslimin menaklukkan pulau Cyprus dan
Rhodus di Laut Tengah. Di samping itu, pada tahun 50 H, Muawiyah mengangkat
Uqbah bin Nafi’ menjadi gubernur di Maroko. Dengan 10.000 tentara ia berhasil
mengalahkan orang-orang Romawi. Ia juga dapat mengalahkan bangsa Barbar dan
penduduk asli Afrika. Lebih dari itu semua, ia telah meletakkan pondasi Daulah
Umawiyah yang telah mengharumkan nama Islam selama ratusan tahun.
Setelah
menjabat sebagai gubernur di Palestina selama 10 tahun dan di Syam 10 tahun,
serta sebagai Khalifah Daulah Umawiyah selama 20 tahun, Muawiyah meninggal
dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun.
B.
Muawiyah
Bin Abi Sufyan Menjadi Khalifah
Ketika
Ali terbunuh pada tahun 661, Muawiyah memiliki pasukan paling besar dalam
kedaulatan islam dan memiliki kekuatan yang besar untuk mengklaim kekhalifahan.
Putra Ali, Hasan ibn Ali, setelah mempertimbangkan keadaan umat, memberikan hak
kekhalifahannya kepada Muawiyah dan memilih tinggal di Madinah dan pensiun.
Tahun ini disebut sebagai ‘Aam Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun
inilah umat Islam bersatu dalam menen-tukan satu khalifah. Pada tahun itu pula
Mu’awiyah mengangkat Marwan bin Hakam sebagai gubernur Madinah.
Setelah
terjadinya ketentraman dan persatuan dalam kedaulatan islam, Muawiyah mulai
meluncurkan kampanye militer. Ke timur, Pasukan islam berhasil menaklukan
Khurasan (663-671) dari arah Basrah, menyebrangi sungai Oxus, dan menyerbu Bukhara
di Turkistan (674). Ke Barat, Gubernur Muawiyah di Mesir mengirim ekspedisi
dibawah pimpinan Uqba bin Nafi menaklukan Afrika Utara yang masih dikuasai
Bizantium sampai Algeria. Ke Utara, menye-rang Asia Kecil untuk melawan
Bizantium. Muawiyah juga meluncurkan serangan sebanyak 2 kali meskipun tidak
berhasil untuk mengepung Konstan-tinople yang dipimpin putranya, Yazid.
Untuk
mengamankan tahtanya, dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat
mengandalkan orang-orang Syam (Suriah), yang kebanyakan terdiri atas bangsa
Arab Yaman dan mengenyampingkan umat Islam pendatang dari Hijaz. Menurut
riwayat, Orang-orang Syam ini sangat loyal terhadap Muawiyah sejak beliau masih
menjadi Gubernur Syam.
Sebagai
prajurit, memang kualitas Muawiyah lebih rendah dibandingkan dengan Ali bin Abi
Thalib. Tetapi sebagai organisator militer, Muawiyah berha-sil mencetak pasukan
Syam menjadi satu kekuatan militer Islam yang teror-ganisir dan berdisiplin
tinggi. Dengan mengadopsi kerangka pemerintahan Bizantium, ia membangun sebuah
negara yang stabil dan terorganisir. Para seja-rawan mencatatnya sebagai orang
islam pertama yang membangun kantor cata-tan negara dan lanyanan pos yang kelak
pada masa Abdul Malik bin Marwan menjadi sebuah lembaga yang menghubungkan
berbagai wilayah kedaulatan islam yang luas.
Selama
berkuasa, kesukesan Muawiyah ditunjang dengan kerjasamanya dengan pendukungnya,
terutama Amr bin Ash, wakilnya di Mesir, Al Mughirah bin Syu’bah, gubernur
Kufah, provinsi yang selalu bergolak, dan Abdullah bin Abihi, penguasa Basrah.
Ketiga orang ini bersama Muawiyah disebut sebagai empat politisi ulung Arab
Islam. Ziyad digelari bin Abihi kerena ketidakjelasan identitas ayahnya. Ibunya
adalah seorang budak di Taif yang dikenal Abu Sufyan. Pada awalnya Ziyad adalah
pendukung Ali, tetapi pada saat kritis, Mua-wiyah mengakui Ziyad sebagai
saudara sahnya.
Dalam
diri Muawiyah, seni berpolitik berkembang. Ia memiliki kemam-puan luar biasa
untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya
lebih banyak menggunakan jaklan damai. Kelembutannya yang sarat dengan
kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakan senjata dan membuat kagum
musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengen-dalian diri yang sangat
tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.
Bagi
para Khalifah Bani Umayah sesudahnya, Muawiyah merupakan teladan dalam
kelembutan, semangat, kecerdasan, dan kenegarawanan yang berusaha mereka ikuti.
Sebelum
wafatnya, Muawiyah, dengan menuruti nasehat Mughira, guber-nur Basrah
mengangkat putranya Yazid sebagai pengganti dirinya kelak. Hal ini menimbulkan
kebencian kaum Syiah. Diantara orang-orang syi’ah yang pertama kali melancarkan
permusuhan terbuka terhadap bani Umayyah adalah Hajar bin Adi. Ia mengkritik
pedas Mughirah bin Syu’bah, sang gubernur Kufah. Berhu-bung Mughirah bertipikal
lemah lembut dan pemaaf, maka ia mengingatkannuya akan akibat tindakannuya.
Ketika Mughirah bin Syu’bah wafat, Muawiyah mengangkat Ziyyad sebagai gubernur
Kufah. Maka Ziyyad mengirim surat kepada Muawiyah mengenai Hajar bin Adi. Oleh
Muawiyah, Hajar bin Adi diundang ke Syam dan membunuhnya bersama pengikut
setianya.
Mengenai
hal ini seorang sejarawan muslim terkemuka yang bernama Ibnu Khaldun dalam
kitabnya Mukaddimah menulis : “Seorang imam tidak sewajarnya dicurigai meskipun
dia telah melantik ayah atau puteranya sendiri sebagai penggantinya. Dia telah
dipertanggungjawabkan untuk mengurus kebajikan kaum muslimin selagi dia masih
hidup. Lebih daripada itu dia ber-tanggungjawab untuk membasmi, semasa hidupnya
(kemungkinan mewabahnya perkara-perkara yang tidak diingini) setelah.
Hal
yang sedemikian sebagai satu contoh adalah sebagaimana yang berlaku ketikaa
Muawiyah melantik puteranya, Yazid. Tindakan itu diambil dengan persetujuan
rakyat dan, karena itu, dengan sendirinya menjadi satu bahan hujah kepada
persoalan yang dibincangkan. Akan tetapi, Muawiyah sendiri bersikap lebih
menyokong puteranya Yazid dibanding dengan calon penggantinya yang lain.
Sebabnya ialah, dia lebih menitikberatkan kepentingan umum yang menghendaki
adanya perpaduan dan harmoni di kalangan masyarakat itu, karena orang yang
menguasai pemerintahan, yaitu Bani Umayyah, pada waktu itu setuju melantik
Yazid.
Tidak
ada motif lain dari Muawiyah. Hemahnya yang tinggi dan hakikat bahwa dia
merupakan salah seorang dari sahabat-sahabat Nabi mencegah keterangan yang
lain-lainnya. Fakta bahwa dia sering datang kepada para sahabat terkemuka,
untuk dimintai nasihat, dan kenyataan bahwa mereka tidak memberikan pendapat
(yang bertentangan) merupakan bukti tidak adanya kecurigaan atas dirinya.
Mereka (para sahabat) tidak termasuk orang gegabah yang mengambil keputusan
dalam masalah kebenaran, dan demikian pula Muawiyah tidak mudah seenaknya
menerima kebenaran. Mereka mempunyai peranan masing-masing dalam masalah ini,
dan keadilan mereka menahan diri mereka untuk bertindak sewenang-wenangnya.”
Mu'awiyah
sendiri wafat pada tanggal 6 Mei 680. Dan digantikan putranya Yazid bin
Muawiyah. Wafatnya Khalifah Muawiyah menyebabkan armada laut Arab mundur dari
perairan Bosporus dan Aegea, sehingga untuk sementara menghentikan penyerangan
ke Konstantinopel.
C.
Usaha Muawiyah bin Abi Sufyan dalam
Mempertahankan Kekuasaan
Langkah strategis yang
dilakukan Muawiyah setelah mendapatkan jabatan dari Hasan bin Ali pada tahun 41
H/661 M adalah :
1. Meminta Pengakuan dari para pengikut Hasan
bin Ali
Muawiyah
bin Abi Sufyan meminta kepada Hasan bin Ali untuk menjelaskan hasil kesepakatan
yang telah dicapai antara Hasan Bin Ali dengan Muawiyah dalam sebuah pertemuan
di maskin kepada para pendukungnya. Muawiyah berharap, dengan cara seperti ini,
ia akan berhasil menjalankan roda pemerintahan tanpa harus mendapatkan banyak
perlawanan atau penolakan dari kelompok yang kurang setuju atas hasil kesepakan
tersebut. selain itu, pelimpahan kekuasaan yang terjadi dari tangan Hasan ke
tangan Muawiyah akan terjadi semakin kuat posisi dan kedudukan Muawiyah karena
mendapat dukungan yang relatif cukup kuat dari penduduk Kufah, Basrah dan para
penduduk kota-kota lainnya.
Permohonan
Muawiyah telah disetujuinya, Hasan bin Ali kemudaia mengumpulkan para sahabat
setianya di kediaman Madain, sebelum memberikan penjelasan lebih jauh kepada
para sahabat setianya di Masjid Kufah. Di dalam pertempuran itu Hasan
menjelaskan bahwa dirinya telah menyerahkan kekuasan kepada Muawiyah dan telah
mengakui Muawiyah sebagai pemimpin. Oleh karena itu, sekali lagi lagi Hasan
meminta agar mereka melakukan seperti apa yang dilakukannya, yaitu menjadikan
Muawiyah sebagai pemimpin mereka, dan jangan sekali-kali membantahnya bila
telah melakukan bai’at kepadanya.
Sebagai
penegasan atas pelimpahan khalifah tersebut, kembali Hasan bin Ali pergi ke
Masjid Kufah untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa ia mau
memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mengakuinya sebagai khalifah. Setelah
umat Islam berkumpul di Masjid, Hasan bin Ali di minta oleh Amr bin Al-Ash
melalui Muawiyah untuk memberikan penjelasan kepada para sahabat setianya
mengenai pristiwa yang telah terjadi di Maskin itu. Ketika itu, hadir
tokoh-tokoh penting, baik dari pihak Hasan bin Ali maupun baik pihak Muawiyah
bin Abi Sufyan. Dari pihak Hasan bin Ali hadir antara lain, Abdullah bin Abbas,
Qays bin Sa’ad, Abu Ja’far, Abu Amir, dan lainnya. Sementara dari pihak
Muawiyah hadir antara lain, ’Amr bin Al-Ash, Abu Al-A’war Al-Sulma, ’Amr bin
Sufyan.
Di dalam
masjid Kufah inilah, Hasan bin Ali memberikan penjelasan mengapa ia mau
memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dan mau mengakuinya sebagai khalifah.
Mereka bergiliran memeberikan sambutan masing-masing. Sebelum Muawiyah meminta
umat Islam mengakui kepemimpinannya, terlebih dahulu Hasan diminta untuk
memberikan penjelasan kepada pendukung setianya. Baru kemudian Muawiyah yang
berbicara dan memberikan penjelasan penting mengenai perjanjian perdamain yang
telah di sepakati bersama antara dirinya dan Muawiyah bin Abi Sufyan, dengan
berbagai konsekuensinya. Antara lain, mereka diminta melakukan apa yang telah
di sepakati dan mentaati perintah Muawiyah yang kini telah menjadi pemimpin
mereka.
Setelah
memberikan penjelasan kepada pengikutnya, maka secara de Jure atau secara
legal, Muawiyah telah menjadi nomor satu di dunia Islam kala itu. Dengan kata
lain, sejak saat itulah berdirinaya dinasti Bani Umayyah pada tahun 661 M.
2. Memindahkan Pusat Kekuasaan ke Damaskus
Setelah
Muawiyah memperoleh pengakuan dari para pengikut Hasan bin Ali, maka langkah
yang dilakukan selanjutnya adalah usahanya memindahkan pusat pemerintahan Islam
dari Madinah ke Damaskus. Pemindahan
ini dilakukan karena di kota itulah pusat kekuasaan Muawiyah bin Abi Sufyan
sebenarnya. Di kota itulah para pendukung setianya berada. Dari kota Damaskus
Muawiyah mengendalikan pemerintahan dan mengatur berbagai kebijakan politik
Alasan
lainnya Muawiyah memindahkan pusat kekhalifahan adalah : karena Kota Damaskus
memiliki letak yang sangat strategis bagi Muawiyah untuk mengambangkan
kekuasaanya ke bakas-bekas wilayah kekuasaan kerajaan Romawi di bagian utara.
Letak strategis itu tidak hanya dari sisi politik militer, juga dari sisi
ekonomi. Sebab kota Damaskus. Syiria terletak di dekat laut Tengah (Laut
Mediterania) yang merupakan jalur perdagangan ke Eropa.
Upaya yang
dilakukan Muawiyah ini memang sangat strategis. Sebab, selain alasan politik,
ekonomi dan perdagangan , Damaskus juga pernah menjadi Wilayah jajahan Romawi
dan Persia. Dua kerajaan yang pernah mempunyai masa kejayaan yang di tinggalkan
di kota tersebut. Karena itu wajar bila kemudian pada masa pemerintahan
Muawiyah dan para penerusnya banyak terjadi perkembangan ilmu pengetahuan,
peradapan dan sebagainya.
Muawiyah
bin Sufyan dalam usahanya memindahkan pusat pemerintahan ke Damaskus, merupakan
sebuah langkah yang tepat ketika itu. Sebab bila tidak di lakukan dengan
segera, kemungkinan ia akan banyak menghabiskan energi dan waktu hanya sekedar
untuk menghalau mereka yang tidak senang atas kepemimpinan Muawiyah. Selain
itu, kemungkinan besar ia tidak memiliki banyak peluang untuk mengembangkan
kemampuanya di dalam membangun sebuah cita-cita diri dan kablahnya untuk
menjadi penguasa tunggal di dunia Islam.
3. Mengangkat Para Pejabat Gubernur
Setelah Muawiyah berhasil memindahkan pusat
pemerintahan ke Damaskus, maka langkah selanjutnya adalah mengangkat para
pejabat yang akan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Orang-orang
tersebut dipercaya untuk memangku jabatan yang amat strategis di wilayah
kekuasaan Muawiyah guna mempertahankan keutuhan wilayah dan kekuasaan yang ada.
Mereka menjabat sebagai gubernur yang tunduk di bawah kekuasaan pemerintahan
dinasti Bani Umaiyah di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah
bin Abi Sufyan sejak usia remaja telah nampak jiwa kepemimpinannanya, beliau memiliki sifat dan kepribadian sampai
pada tingkat hilm yang terkenal dimiliki orang-orang Mekkah. Muawiyah di
gambarkan sebagai orang yang tidak mudah terpancing emosi, tidak mudah bingung,
selalu melalui pertimbangan yang masak dalam menentukan atau mengambil sebuah
keputusan. Hal ini dapat dilihat dari kebijakanya dalam mengangkat para pejabat
dan bawahanya yang akan menjadi pembantu setianyadi dalam menjalankan roda
pemerintahan. Misalnyasaja soalpengangkatan gubernur daerah yang akan menjadi
pejabat di wilayah yang berada di bawah kekuasaanya.
Muawiyah
bin Abi Sufyan telah memilih beberapa orang yang dapat memperkuat posisi
kepemimpinannya. Mereka adalah Amr bin Al-Ash, Mughirah bin Syu’bah, dan Ziyad
bin Abihi. Kedua orang yang di sebutkan itu, Amr dan Al Mughirah bin Syu’bah,
memiliki peran yang sangat penting, baik sebelum atau sesudah Muawiyah menjadi
khalifah. Sementara Ziyad baru memainkan peran pentingnya ketika ia di beri
kesempatan oleh Muawiyah untuk menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan
Bani Umaiyah, yaitu gubernur Basrah.
Salah satu
alasan Muawiyah merangkul Amr bin
Al-Ash, adalah karena ia telah memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah
taktik dan strategi politik dan peperangan yang sebanding dengannya. Ia
kemudian di ajak kerjasama dalam mengahadapi kekuatan Ali bin Abi Thalib, yang
kemudian setelah itu diberi kepercayaan untuk menaklukan Mesir dan setelah
berhasil Amr di percaya menjadi gubernur kota itu. Setelah Muawiyah bin Abi
Sufyan berhasil mendapatkan legitimasi politik dari masyarakat luas, khususnya
para pendukung Ali dan Hasan di Kufah dan Basrah, jabatan tersebut tetap di
percayakan kepada Amr bin Al-Ash. Pemberian jabatan ini karena Muawiyah tau
persis kemampuan yang di miliki Amr dan kekuatan yang ada padanya. Amr berkuasa
sebagai gubernur selama kurang lebih dua tahun (41-43 H).
Selain
merangkul Amr bin Al-Ash, Muawiyah juga mengangkat Al-Mhugirah bin Syu’bah. Ia memiliki potensi
besar dengan dukungan masa ynag cukup banyak di kotanya. Karena itu, ketika
Muawiyah berkuasa sebagai khalifah, ia melihat Al-Mughirah sebagai seorang
tokoh potensial yang perlu di rangkul dengan jabatan strategis di wilayah
Kufah, jabatan yang pernah di dipegang selama satu tahun atau dua tahun ketika
Umar bin Khattab berkuasa yang mencakup pula wilayah Syiria. Ia mengaku jabatan
ini selama lebih kurang satu dasawarsa hingga ia wafat pada tahun 50 H. Setelah
ia wafat, wilayah kekuasaanya di gabungkan Muawiyah ke dalam wilayah
pemerintahan gubernur Ziyad bin Abihi.
Tokoh
lainnya yang dianggap perlu diangkat adalah: Ziyad bin Abihi. Dalam pandangan
Muawiyah, orang seperti Ziyad juga perlu mendapatkan perhatian dan kedudukan
khusus di pemerintahan. Sebab, Ziyad bin Abihi, meskipun sedikit memiliki
pengaruh keluarga atau klan, karena Ziyad di beritakan tidak memiliki ayah yang
jelas yang kemudian orang mengenalnya dengan sebutan Ziyad bin Abihi tetap saja
menjadi orang yang di perhitungkan oleh Muawiyah, bukan hanya karena
reputasinya, juga karena dari penelusuran silsilah atau asal usulnya, ternyata
Ziyad di ketahui anak seorang ibu yang sebenarnya budak Abi Sufyan yang berasal
dari Thaif yang beralih tangan al-Harits bin Kaldah sebelum Ziyad lahir.
Karenanya, Ziyad juga sering di sebut dengan Ziyad bin Abi Sufyan.
Pada masa
khalifah Ali bin Abi Thalib berkuasa, Ziyad di tunjuk sebagai gubernur Basrah
dengan tugas khusus di persia bagian selatan. Karenanya ketika Ali wafat, dan
Hasan memberikan kekuasaan kepada Muawiyah dalam peristiwa Am al-Jama’ah di
maskin tahun 661 M/41 H, ia pindah ke persia sembunyi di sana. Hal itu di lakukan karena ia merasa khawatir akan
keselamatan dirinya karena ia telah menolak ajakan Muawiyah agar Ziyad mau
bergabung bersamanya yang telah mengakuinya sebagai saudara seayah .
Berkat
kecerdikan Muawiyah dan kepiawaian, maka Muawiyah akhirnya mampu mempengaruhi
Ziyad untuk bergabung dengannya, bahkan Muawiyah mengikatnya dengan ikatan
perkawinan antara putri Muawiyah dengan putra Ziyad bernama Muhammad bin Ziyad.
Dengan cara-cara seperti itu, akhirnya Ziyad mau menyatakan bersedia bergabung
dan secara otomatis mengakui keberadaan khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Hal
tersebut dilakukan Muawiyah karena ia melihat potensi besar yang dimiliki Ziyad
dalam masalah kemiliteran dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip yang
dimilikinya.
Ditempat
tugas barunya inilah Ziyad menyampaikan
pidato perdananya kepada masyarakat Basrah. Pidato yang disampaikan sangat
mengagumkan dan sekaligus menggetarkan sendi-sendi orang yang berusaha
menentang kekuasaannya atau kekuasaan Muawiyah. Pidatonya itu di kenal dengan
pidato batra, karena tidak dimulai dengan ucapan basmalah. Isi pidatonya sangat jelas dan
menelanjangi kejahatan-kejahatan penduduk Basrah. Ia mengulurkan
ancaman-ancaman keras terhadap mereka yang tidak patuh. Dalam pidatonya itu, ia juga bersumpah kalau
tidak hanya akan menghukum mereka yang berdosa, juga menghukum tuan lantaran
dosa hamba sahaya, dan seterusnya.
Diantara
isi pidato Ziyad adalah sebagai berikut:
”Kebencian pada diriku tidak akan aku
hukum hanya kejahatan (yang kuhukum). Banyak yang berduka karena kedatanganku akan
bergembira, dan mereka yang berduka akan berduka. Aku datang kepada kalian atas
kehendak Allah untuk memerintahmu dan mengawasi kesejahteranmu. Maka menjadi
kewajibanmulah untuk mendengar dan mematuhikudalam hal yang kupandang baik, dan
hak kamulah untuk menuntutku agar berbuat adil dalam tanggung jawabku. Dalam
beberapa hal aku memiliki kekurangan, tetepi ada tiga hal yang aku bertekad
untuk tidak kekurangan. Aku akan mendengar permohonan-permohonanmu, bahkan jika
kamu datang mal;am hari, aku tidak akan menahan makanan dan
tunjangan-tunjanganmu melewati waktunya, dan aku tidak akan mengirim kamu ke
medan perang untuk waktu yang lama. Doakanlah kesejahteraan
pemimpin-pemimpinmu, karena mereka adalah penguasamu yang membenarkanmu dan
tempetmu memperoleh pertolongan. Janganlah hatimu dipenuhi kedengkian dan
kemarahan pada mereka, karena tidak baik bagimu. Jika kamu melihatku masalahmu
dengan baik, maka berterima kasihlah. Saya melihat di antara kamu ada banyak
bangkai, hati-hatilah jangan sampai ada di antara kamu yang akan menjadi
bangkai pula.”
Mendengar
pidato Ziyad tersebut, banyak penduduk Basrah dan orang-orang yang mencoba
berusaha melawannya, berdiri, merinding dan ketakutan. Karena dengan tegas dan
sangat jelas, bahwa Ziyad akan menjatuhkan hukuman kepada mereka yang
membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpin yang telah mereka akui
keneradaanya. Selain itu, juga membawa angin segar bagi para penduduk yang mau
bekerja sama dengannya dalam membangun dan mempertahankan keutuhan wilayah
Islam. Bahkan ia berjanji akan membuka pintu rumahnya bagi mereka yang ingin
menyampaikan keluhan dan saran yang baik guna kemajuan atau kemaslahatan umat
dan negara.
Pidato
Ziyah yang begitu tegas dan transparan tersebut, membuat suasana jadi tegang
dan tidak memberi peluang bagi mereka yang ingin berbuat kecurangan atau
berbuat tidak adil. Bagi mereka yang mau melakukan pemberontakan, akan berfikir
ulang untuk merealisasikannya. Karena mereka tau benar siapa Zayid bin Abihi.
Ia di kenal tegas dan tidak pandang bulu ketika menjatuhkan sanksi hukum. Hal
itu dapat dilihat, misalnya ketika memperlakukan jam malam. Al-Thabary menceritakan
bahwa Ziyad pernah menjatuhkan hukum pancung pada seorang musafir yang
tertangkap pada malam hari oleh penjaganya. Padahal, musafir itu tidak
mengetahui adanya jam malam dengan adanya keluar bagi masyarakat, dan bagi
mereka yang melanggar peraturan itu, akan di hukum pancung. Oleh karena itu,
ketika musafir itu di bawah ke hadapan Ziyad, gubernur itu mengintrograsinya.
Ziyad bertanya : apakah engkau tidak mengetahui (mendengar) adanya peraturan
pelanggaran adanya jam malam? Musafir itu menjawab. Demi Allah, aku tidak
mendengarnya. Aku seorang musafir yang kemalaman, karena itu aku berhenti di
padang pasir menuggu datangnya fajar subuh, dan aku tidak tau adanya larangan
keluar malam. Ziyad menjawab: ”Aku kira egkau benar, tetapi demi kemaslahatan
rakyat, engkau harus dibunuh.”
Ziyad
merupakan sosok pemimpin yang tegas dan tidak plin-plan. Ia teguh
mempertehankan prinsip dan semuanya itu dilakukan untuk menegakkan peraturan
yang telah dikeluarkan. Dengan kata lain dapat di katakan bahwa ketegasan yang
di perlihatkan oleh Ziyad sebagai seorang penguasa lokal dan wujud dari seorang
khalifah yang berkuasa, justru menjadi momen penting dan bahkan sangat kondusif
untuk membangun citra pemerintahan Muawiyah di daerah Basrah dan sekitarnya,
sehingga mereka yang ingin berlaku macam-macam untuk melanggar atau menentang
kekuasaanya, akan berhadapan denganya dan hidupnya akan berakhir di ujung
pedang.
Muawiyah
selain memberikan jabatan kepada tiga tokoh di atas juga memberikan jabatan
kepada Marwan bin Al-Hakam untuk diangkat menjadi gubernur Madinah, Mekkah dan
Tha’if. Marwan memegang jabatan itu hingga Muawiyah wafat pada tahun 680 M. Di
antara alasan mengapa Muawiyah memberikan jabatan itu kepada Marwan adalah
karena Marwah masih saudara sepupu Muawiyah yang telah banyak memberikan
Investasinya untuk mendudkung gerakan Muawiyah memperoleh posisi penting dalam
dunia Islam menjadi nomor satu, terutama pasca kematian khalifah Usman dan
perjalanan karier politik Muawiyah bin Abi Sufyan.
Kecerdasan
Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai seorang pemimpin politik nampak dari
strateginya dalam merekrut tokoh-tokoh penting yang memiliki pengaruh dan
daerah kekuasaan sebagaimana para tokoh-tokoh di atas. Dengan mengangkatnya
beberapa tokoh di atas, maka posisi Muawiyah sebagai seorang pemimpin semakin
kuat.
infonya cukup lengkap
ReplyDeleteMakasih sangat bermanfaat
ReplyDeleteali kalah pinter sama muawiyah
ReplyDeleteMasyaallah
ReplyDelete